Jumat, 20 Mei 2011

Daftar Museum-Museum di Jakarta

Waktu terus berjalan, zaman pun kian modern. Seiring berjalannya waktu, sejarah mulai terlupakan. Banyak orang yang ketika liburan lebih memilih berjalan-jalan ke tempat-tempat yang menghibur seperti mall,DuFan, Ancol, dan sebagainya, daripada ke museum. Ketika saya menanyakan kepada teman saya, tempat apa yang dikunjunginya pada saat liburan, satupun tidak ada yang menjawabnya dengan satu kalimat yang berjumlah 6 huruf : MUSEUM.
Itulah yang ingin saya bahas. Daftar museum-museum di Jakarta. Walaupun banyak teman-teman yang tidak menyukai berjalan-jalan ke museum, tetapi semangat saya untuk mengunjungi seluruh museum tak pernah pudar, karena saya ingin mengetahui sejarah secara detil, dari masa ke masa. Daripada ngomong panjang, lebih baik kita simak daftar museum di Jakarta. Berikut daftarnya.

Kawasan Jakarta Barat
Bentara Budaya Jakarta
Museum Lukisan Universitas Pelita Harapan
Museum 12 Mei Universitas Trisakti

Kawasan Jakarta Pusat

    Gedung Joang '45
    Gedung Kesenian Jakarta
    Gedung Mohammad Hoesni Thamrin
    Planetarium Jakarta
    Monumen Nasional
    Museum Adam Malik
    Museum Anatomy Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
    Museum Jenderal Besar DR. Abdul Haris Nasution
    Museum Kebangkitan Nasional
    Museum Nasional Republik Indonesia atau Museum Gajah
    Museum Pers ANTARA
    Museum Perumusan Naskah Proklamasi
    Museum Puri Bhakti Renatama
    Museum Sasmita Loka Ahmad Yani
    Museum Sumpah Pemuda
    Museum Taman Prasasti
    Museum Tekstil
    Museum Tosan Aji
    Galeri Nasional Indonesia

Kawasan Jakarta Selatan

    Museum Dirgantara Mandala
    Museum Harry Darsono
    Museum Kriminal (Mabak)
    Museum Layang-Layang
    Museum Manggala Wanabhakti
    Museum Polri
    Museum Reksa Artha
    Museum Satria Mandala
    Museum Waspada Purbawisesa

Kawasan Jakarta Timur

    Monumen Pancasila Sakti
    Museum Loka Jala Srana
    Museum Pengkhianatan PKI

Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur

    Museum Asmat
    Museum Fauna Indonesia
    Museum Indonesia
    Museum Istiqlal Bayt Alqur'an
    Museum Keprajuritan Indonesia
    Museum Komodo dan Taman Reptilia
    Museum Listrik dan Energi Baru
    Museum Minyak dan Gas Bumi
    Museum Olahraga
    Museum Penerangan
    Museum Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
    Museum Perangko Indonesia
    Museum Purna Bhakti Pertiwi
    Museum Pusaka
    Museum Serangga dan Taman Kupu
    Museum Telekomunikasi
    Museum Timor Timur
    Museum Transportasi

Kawasan Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu

    Museum Laut Ancol
    Museum Pulau Onrust

Kawasan Kota Tua, Jakarta Utara
   Museum Bahari
    Museum Bank Indonesia
    Museum Bank Mandiri
    Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta
    Museum Seni Rupa dan Keramik
    Museum Wayang

Saya pun menyadari kesalahan saya saat menulis daftar tersebut. Kesalahan tersebut adalah tidak dituliskannya alamat museum. Mohon maaf bila ada kesalahan. Semoga bermanfaat............

Jumat, 06 Mei 2011

Cut Nyak Meutia


(1870-1910)
“Perempuan Teguh dari Aceh”
C
UT NYAK MEUTIA lahir di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara,pada tahun 1870. Sebelum Cut Nyak Meutia lahir, pasukan Belanda sudah menduduki daerah Aceh.Tiga tahun sebelum perang Aceh-Belanda meletus, ketika itulah Cut Nyak Meutia dilahirkan.Pada saat usianya muda ia sudah ditunangkan dengan Teuku Syam Syarif,tetapi ketika ia beranjak dewasa ia pun memilih menikah dengan Teuku Muhammad atau yang dikenal dengan nama Teuku Cik Tunong.Tetapi,suaminya wafat.Meutia pun menikah lagi dengan Pang Nangru,sesuai wasiat suaminya.Ia gugur pada tanggal 24 Oktober 1910,di Alue Kurieng,Aceh,dan dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh.Menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/Tahun 1964,tanggal 2 Mei 1964.

Perang Aceh di Pasai
P
erang terhadap pendudukan Belanda terus berkobar seakan tidak pernah berhenti. Cut Nyak Meutia bersama suaminya Teuku Cik Tunong langsung memimpin perang di daerah Pasai. Perang yang berlangsung sekitar tahun 1900-an itu telah banyak memakan korban baik dari pihak pejuang kemerdekaan maupun dari pihak Belanda. Peperangan berjalan tidak seimbang. Pasukan Belanda memiliki jumlah pasukan yang besar dan persenjataan lengkap dan canggih,sedangkan pasukan Aceh melakukan perlawanan dengan senjata seadanya. Keadaan Pasukan Belanda yang mempunyai persenjataan lebih lengkap memaksa pasukan Aceh melakukan taktik perang gerilya. Berkali-kali pasukan mereka berhasil mencegat patroli pasukan Belanda dan melakukan penyerangan langsung ke markas pasukan Belanda di Pidie.
Menikah dengan Pang Nangru
P
ada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.Cut Nyak Meutia pun berduka.Ia pun kemudian menikah lagi dengan Pang Nangru,sesuai pesan Cik Tunong.Bersama suami keduanya,ia terus melanjutkan perjuangan melawan Belanda.
Pertempuran di Paya Cicem
C
ut Meutia kemudian bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Cut Nyak Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nangru sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.


Perlawanan Terakhir
C
ut Nyak Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukkannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Cut Nyak Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu seorang pasukan menembakkan tiga peluru kearah Cut Nyak Meutia,hingga ia tewas sebagai Pahlawan Kusuma Bangsa.Terdapat tiga luka tembak: satu di kepala dan dua di dadanya.

“Penyerahan pimpinan itu aku terima dengan penuh tanggung-jawab pada agama dan negeri kita,tetapi bila pimpinanku kurang sempurna cepatlah ditegur,sehingga segala urusan dapat berjalan lancar, agar kita semua seiya sekata, bersatu hati, dan tidak terpecah belah”
(Ungkapan Cut Nyak Meutia ketika ditunjuk sebagai pemimpin pergerakan)

Cut Nyak Dien


(1848-1908,59 Tahun)
“Perempuan Aceh Berhati Baja”
C
UT NYAK DIEN atau yang juga dieja Tjoet Nja’ Dhien,lahir di Lampadang,Aceh,pada tahun 1848. Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang Uleebalang (Hulubalang) VI Mukim (Lampadang).Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri Uleebalang Lampagar.Pada usia 12 tahun, ia dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga,dan dikaruniai satu anak laki-laki.Setelah kematian suaminya,ia menikah kembali dengan Teuku Umar.Ia wafat pada tanggal 6 November 1908 di Sumedang,Jawa Barat,dan dimakamkan di Kampung Gunung Agung,Desa Sukajaya,Kecamatan Sumedang Selatan.Menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Perang Aceh

P
ada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler,dan dimenangkan oleh Kesultanan Aceh.Tetapi,pada akhirnya Aceh dapat dikuasai.Ketika daerah Mukim VI dikuasai pada tahun 1875,Dien terpaksa mengungsi,berpisah dengan ayah, ibu dan  suaminya.Ternyata perpisahan tersebut adalah untuk selamanya.Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Teuku Umar pun datang melamar Cut Nyak Dien.Setelah      dilakukan pertimbangan, akhirnya lamaran Teuku Umar pun diterima,dan menikah pada tahun 1880. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
“Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadah kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?”
(Seruan Cut Nyak Dien dalam Perang Aceh)

Perang Gerilya di Meulaboh
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar berjuang dengan berpura-pura bergabung dengan Belanda. Ia banyak diejek oleh para pejuang,termasuk Cut Meutia,karena pengkhianat.Tetapi,Cut Nyak Dien menasihatinya. Hingga akhirnya Umar wafat,karena ia sudah diketahui penyamarannya.Cut Nyak Dien pun bersedih,karena kehilangan suaminya untuk kedua kalinya.Tetapi,semangat perjuangannya masih terus berkobar. Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
Catatan
Sebagai wujud pengabadian,dilakukan hal-hal berikut:
1. Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien;
2.Mata uang rupiah Rp10.000,00 keluaran tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien;
3.Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan;dan
4.Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya.
Selain itu,juga dibuat sebuah film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot.

Akhir Perjuangan
Anak buah Cut Nyak Dien yang bernama Pang Laot,secara diam-diam melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba.”Cut Nyak Dien boleh ditangkap asalkan diperlakukan sebagai orang terhormat,dan bukan sebagai penjahat perang".Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Cut Nyak Dien dibawa ke Banda Aceh,dan dirawat disana.Sakit rabun dan encok yang dideritanya berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.Ia pun dibawa ke Sumedang.Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".Ia kemudian meninggal pada 6 November 1908,dan dimakamkan di Sumedang.