Minggu, 24 April 2011

Prof. Dr. Marsekal Muda (Anumerta) Abdul Rahman Saleh Sp.F.


Lahir: Jakarta, 1 Juli 1909
Wafat: Maguwoharjo, Sleman, 29 Juli 1947
Makam:Yogyakarta

ABDUL RAHMAN SALEH atau sering dikenal dengan nama julukan "Karbol" dilahirkan di Jakarta,pada tanggal 1 Juli 1909.Ayahnya bernama  Mohammad Saleh. Pada masa mudanya, ia kemudian bersekolah di HIS (Hollandsche Inlandsche School,setingkat SD),lalu melanjutkan pendidikan dengan memasuki Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau yang sekarang disebut SLTP, kemudian memasuki Algemene Middelbare School (AMS) yang sekarang disebut SMU, dan kemudian diteruskannya ke School Tot Opleiding van Inlandsche Artseen (STOVIA,Sekolah Pendidikan Dokter Hindia). Karena pada saat itu STOVIA dibubarkan sebelum ia menyelesaikan studinya di sana, maka ia meneruskan studinya di Geneeskundige Hoge School (GHS), semacam sekolah tinggi dalam bidang kesehatan atau kedokteran. Ayahnya tak pernah memaksakannya untuk menjadi dokter, karena saat itu hanya ada STOVIA saja. Ketika ia masih menjadi mahasiswa, ia sempat giat berpartisipasi dalam berbagai organisasi seperti Jong Java, Indonesia Muda, dan Kepanduan Bangsa Indonesia(KBI).
Ketika lulus belajar di STOVIA, ia memperoleh ijazah dokter,kemudian ia mendalami pengetahuan ilmu faal. Setelah itu ia mengembangkan ilmu faal ini di Indonesia. Oleh karena itu, Universitas Indonesia pada 5 Desember 1958 menetapkan Abdulrachman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia.
Ia juga aktif dalam perkumpulan olah raga terbang dan berhasil memperoleh ijazah atau surat izin terbang. Selain itu, ia juga memimpin perkumpulan Vereniging voor Oosterse Radio Omroep (VORO), sebuah perkumpulan dalam bidang radio. Maka sesudah kemerdekaan diproklamasikan, ia menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka. Melalui pemancar tersebut, berita-berita mengenai Indonesia terutama tentang proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga ke luar negeri. Ia juga berperan dalam mendirikan Radio Republik Indonesia yang berdiri pada 11 September 1945.
Setelah menyelesaikan tugasnya itu, ia berpindah ke bidang militer dan memasuki dinas Angkatan Udara Ia diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun pada 1946. Ia turut mendirikan Sekolah Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang.Meskipun ia sekarang telah menjadi militer Angakatan Udara, ia tidak melupakan profesinya sebagai dokter, ia tetap memberikan kuliah pada Perguruan Tinggi Dokter di Klaten, Jawa Tengah.
Pada saat Belanda mengadakan agresi pertamanya, Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh diperintahkan ke India. Dalam perjalanan pulang mereka mampir di Singapura untuk mengambil bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya. Keberangkatan dengan pesawat Dakota ini, mendapat publikasi luas dari media massa dalam dan luar negeri.
Tanggal 29 Juli 1947, ketika pesawat berencana kembali ke Yogyakarta melalui Singapura, harian Malayan Times memberitakan bahwa penerbangan Dakota VT-CLA sudah mengantongi izin pemerintah Inggris dan Belanda. Sore harinya, Suryadarma, rekannya baru saja tiba dengan mobil jip-nya di Maguwo. Namun, pesawat yang ditumpanginya ditembak oleh dua pesawat P-40 Kitty-Hawk Belanda dari arah utara. Pesawat kehilangan keseimbangan dan menyambar sebatang pohon hingga badannya patah menjadi dua bagian dan akhirnya terbakar.Abdul Rahman dan Adi Sutjipto pun tewas pada saat itu juga.
Peristiwa heroik ini, diperingati TNI AU sebagai hari Bakti TNI AU sejak tahun 1962 dan sejak 17 Agustus 1952, Maguwo diganti menjadi Lanud Adisutjipto.
Abdulrahman Saleh kemudian dimakamkan di Yogyakarta dan ia diangkat menjadi seorang Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.071/TK/Tahun 1974, tanggal 9 Nopember 1974.
Pada tanggal 14 Juli 2000, atas prakarsa TNI-AU, makam Abdulrahman Saleh, Adisucipto, dan para istri mereka dipindahkan dari pemakaman Kuncen ke Kompleks Monumen Perjuangan TNI AU Dusun Ngoto, Desa Tamanan, Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta.
Nama Ia diabadikan sebagai nama Pangkalan TNI-AU dan Bandar Udara di Malang. Selain itu, piala bergilir yang diperebutkan dalam Kompetisi Kedokteran dan Biologi Umum (Medical and General Biology Competition) disebut Piala Bergilir Abdulrahman Saleh.
Sebagai wujud pengenangan,dan juga mengharapkan semua lulusan Akademi Angkatan Udara dapat mencontoh keteladanan dan mampu mencapai kualitas seorang perwira seperti Abdulrachman Saleh, para taruna AAU dipanggil dengan nama Karbol. Hal ini pertama kali diusulkan oleh Letkol Saleh Basarah setelah beliau mengunjungi United States Air Force Academy di Colorado Springs, Amerika Serikat. Para kadet di sana dipanggil dengan nama Dollies, nama kecil dari Jenderal USAF James H Doollitle, seorang penerbang andal yang serba bisa. Ia penerbang tempur Amerika Serikat yang banyak jasanya pada Perang Dunia I

Abdul Muis


Lahir: Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883
Wafat: Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959
Makam:Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra,Bandung

ABDUL MUIS dilahirkan di Sungai Puar, Bukittinggi, Sumatera Barat, 3 Juli 1883. Ia adalah putra Datuk Tumenggung Lareh, Sungai Puar. Seperti halnya orang-orang Minangkabau Iainnya, Abdul Muis juga memiliki jiwa petualang yang tinggi. Sejak masih remaja ia sudah berani meninggalkan kampung halamannya, merantau ke Pulau Jawa.
Pendidikan pertamanya ialah pada saat ia masuk ke Europeesche Lagere School (ELS/setingkat SD).Pada saat lulus,ia kemudian melanjutkan pendidikannya hingga masuk ke School Tot Opleiding Artseen (STOVIA/Sekolah Pendidikan Dokter Hindia). Ia belajar di Stovia selama tiga setengah tahun (1900-1902). Namun, karena sakit, ia terpaksa keluar dan sekolah kedokteran tersebut.
Meskipun hanya berijazah ujian amtenar kecil (Klein Ambtenaars Examen) dan ELS, Abdul Muis memiliki kemampuan berbahasa Belanda yang baik. Bahkan, menurut orang Belanda, kemampuan Abdul Muis dalam berbahasa Belanda dianggap melebihi rata-rata orang Belanda sendiri.Oleh karena itu, begitu keluar dan Stovia, ia diangkat oleh Mr. Abendanon, Directeur Onderwijs (Direktur Pendidikan) sebagai klerk pada Departement van Onderwijs en Eredienst yang kebetulan membawahi Stovia.
Akhirnya, pada tahun 1905 Ia keluar dan Departemen itu setelah dijalaninya selama Iebih kurang dua setengah tahun (1903-1905). Pada tahun 1905 itu juga ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia, sebuah majalah yang banyak memuat berita politik, di Bandung. Karena pada tahun 1907 Bintang Hindia dilarang terbit, Abdul Muis pindah kerja ke Bandungsche Afdeelingsbank sebagai mantri lumbung.. Pekerjaan itu ditekuninya selama lebih kurang lima tahun, sebelum ia diperhentikan dengan hormat (karena cekcok dengan controleur) pada tahun 1912.
Ia kemudian bekerja di De Prianger Bode, sebuah surat kabar (harian) Belanda yang terbit di Bandung, sebagal korektor, Hanya dalam tempo tiga bulan, ia diangkat menjadi hoofd corrector (korektor kepala) karena kemampuan berbahasa Belandanya yang baik.
Nama Muis mulai naik daun ketika artikelnya sering dimuat di De Express milik Indische Partij (IP) yang dipimpin tiga serangkai Douwes Dekker, Soewardi Soerjaningrat, dan Tjipto Mangoenkoesoemo pada 1912. Di situ, Moeis kerap mengecam orang-orang Belanda yang merendahkan martabat kaum bumiputera.
Setelah De Expres dibredel akibat artikel keras Soewardi Soerjaningrat pada 1912, Muis bergabung dengan majalah Hindia Sarekat sebagai redaktur. Ia juga masuk ke jajaran redaksi Oetoesan Hindia, media Sarekat Islam (SI), pada 1915. Dua tahun kemudian, ia bergabung dengan Neratja. Tahun 1922, Moeis bersama AH Wignjadisastra mendirikan koran Kaoem Moeda. Sebelumnya, Kaoem Kita terbit atas prakarsanya pada 1921. Wawasan jurnalistik Moeis yang seabrek itu diawalinya ketika bekerja di Preangerbode, suratkabar milik orang Belanda yang hadir pada kurun 1886-1923.
Dari sekian banyak suratkabar yang diawakinya -belum termasuk tulisan-tulisannya di pelbagai media lain-Muis paling berperan sentral di suratkabar Neratja. Sebelum Moeis masuk, di Neratja sudah tercantum nama Agus Salim dan Djojosoediro sebagai redacteur, Derma Kasoema di posisi  directeur, serta M Soekandi di bagian administratie. Abdoel Moeis dianggap sangat layak direkrut sebagai pemimpin redaksi Neratja dan resmi bergabung pada 8 September 1917.
Selain bertanggungjawab penuh di keredaksian, Moeis juga memimpin perusahaan NV Neratja yang terutama mengiklankan perusahaan-perusahaan gula. Neratja memang merupakan organ dari Suikersindicaat (asosiasi pabrik gula) bumiputera Hindia. Hasil usaha Neratja digunakan juga untuk mendirikan perusahaan periklanan dan perusahaan penerbitan di Sumatera Timur.
“Haloeannja hendak menjokong dan membantoe segala oesaha pergerakan jang menoedjoe kebaikan dan kemadjoean bangsa dan tanah air, dengan djalan yang patoet”, itulah jargon harian Neratja. Pena tajam Moeis mengobarkan semangat perlawanan rakyat pribumi terhadap kolonialisme dan diskriminasi. Komitmen Muis atas perbaikan nasib pribumi melekat pada karyanya.
Di Neratja inilah Muis menumpahkan segenap cita-cita dan isi otaknya. Ia tak pernah jemu meneriakkan slogan nasionalisme serta menuntut pemerintahan sendiri untuk bumiputera. Berikut nukilan salah satu tulisan Moeis bertajuk “Perasaan Tjinta pada Bangsa dan Tanah Air, Nasionalisme” yang dimuat di Neratja edisi 16 Oktober 1916:
    “Selama Bumiputera tanah Hindia belum mempunyai kebangsaan dan tanah air sejati, maka perasaan cinta pada tanah air dan bangsa itu haroes dibangunkan dalam kalbu boemipoetera itoe. Sebab suatu bangsa yang tidak mempoenjai perasaan itoe tidak akan madjoe, malah moendoer, jika ia koerang-koerang tegoeh berdiri pada batoe tapakannja.”
Seruan “Hindia boeat anak Hindia!” berkali-kali diteriakkan Muis di Neratja. Lebih tegas dan garang, ia kembali membakar rasa kebangsaan Bumiputera:
  “Jang pertama-tama haroes kita miliki oentoek oesaha jang soekar dan berbahaja ini adalah rasa Kebangsaan, jaitoe tjinta kepada negara dan sesama bangsa kita. Bila kita renoengkan betapa boeroeknja nasib negara dan sesama bangsa kita jang beratoes-ratoes tahoen terbelenggoe oleh orang-orang asing, serasa berdebarlah hati kita, berdiri boeloe roma, dan kita merasa kasihan kepada negara dan sesama bangsa kita.
Kemerdekaan Hindia. Ya, itulah yang menjadi pokok perjuangan Moeis, sebuah tuntutan berbahaya dan mustahil terwujud pada masa itu. Tapi Moeis mengawalinya dengan menyatakan bahwa tujuan dibentuknya pelbagai perhimpunan di Hindia adalah untuk memperbaiki nasib bumiputera. Dan bila ditelisik lebih jauh lagi, lanjut Moeis, bahwa “... perhimpoenan-perhimpoenan terseboet hanja satoe toejoeannja, jaitoe KEMERDEKAAN HINDIA!”
Muis tak pernah menyebut Hindia Belanda untuk nusantara. Baginya, Hindia Belanda menjelaskan sebuah hubungan dari Belanda atas Hindia yang didasari atas kepemilikan dan dominasi. Tipe hubungan yang sama juga diekspresikan oleh kata "daerah jajahan" yang digunakan bagi Hindia. Moeis kemudian memberi makna politis dalam bentuk Hindia yang harus merdeka. Abdoel Moeis adalah salahsatu penggagas lahirnya nama Indonesia. Sebagai pemuda yang berjiwa patriot, ia mulai tertarik pada dunia politik dan masuklah ia ke Serikat Islam (SI).
Bersama dengan A.H. Wignyadisastra, Ia dipercaya untuk memimpin Kaum Muda, salah satu surat kabar milik SI yang terbit di Bandung. Pada tahun itu pula, atas inisiatif dr. Cipto Mangunkusumo, Abdul Muis (bersama dengan Wignyadisastra dan Suwardi Suryaningrat) membentuk Komite Bumi Putra untuk mengadakan perlawanan terhadap maksud Belanda mengadakan perayaan besar-besaran 100 tahun kemerdekaannya serta untuk mendesak Ratu Belanda agar memberikan kebebasan bagi bangsa Indonesia dalam berpolitik dan bernegara.
Pada tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan SI pergi ke Negeri Belanda untuk mem-propagandakan comite Indie Weerbaar. Pada tahun 1918, sekembalinya dan Negeri Belanda, Abdul Muis terpaksa harus pindah kerja ke harian Neraca karena Kaum Muda telah diambil alih oleh Politik Economische Bond, sebuah gerakan politik Belanda di bawah pimpinan Residen Engelenberg. Pada tahun 1918 itu juga, Abdul Muis menjadi anggota dewan Volksraad (Dewan Rakyat). Pada tahun 1922, ia memimpin anak buahnya yang tergabung dalain PPPB (Perserikatan Pegawai Pegadaian Boemiputera) mengadakan pemogokan di Yogyakarta. Setahun kemudian, ia pun memimpin sebuah gerakan memprotes aturan Landrentestelsel (Undang-undang Pengawasan Tanah) yang akan diberlakukan oleh Belanda di Sumatra Barat. Muis adalah ketua (PPPB). Protes tersebut herhasil. Dan, Landrentestelsel pun urung diberlakukan. Di samping itu, ia juga masih tetap memimpin harian Utusan Melayu dan Perobahan. Melalui kedua surat kabar tersebut ia terus melancarkan serangannya.
Oleh pemerintah Belanda, tindakan Abdul Muis tersebut dianggap dapat mengganggu ketenteraman dan ketertiban masyarakat. OIeh karena itu, pada tahun 1926 Abdul Muis ‘dikeluarkan’ dan daerah luar Jawa dan Madura. Akibatnya, selama Iebih kurang tiga belas tahun (1926--1939) Ia tidak diperkenankan meninggalkan Pulau Jawa.
Meskipun tidak boleh meninggalkan Pulau Jawa, tidak berarti Abdul Muis berhenti berjuang. Ia kemudian mendirikan harian Kaum Kita di Bandung dan Mimbar Rakyat di Garut. Sayang, kedua surat kabar tersebut tidak lama hidupnya.
Di samping berkecimpung di dunia pers, Abdul Muis tetap aktif di dunia politik. Oleh Serikat Islam ia pada tahun 1926 dicalonkan (dan terpilih) menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Enam tahun kemudian (1932) ia diangkat menjadi Regentschapsraad Gontroleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).
Di masa pendudukan Jepang, Abdul Muis masih kuat bekerja meskipun penyakit darah tinggi mulai meñggerogotinya. Ia, oleh Jepang, diangkat sebgai pegawai sociale zaken ‘hal-hal kemasyarakatan’. Karena sudah merasa tua, pada tahun 1944 Abdul Muis berhenti bekerja. Anehnya, pada zaman pascaprokiamasi, ia aktif kembali dan ikut bergabung dalam Majelis Persatuan Perjuangan Priangan. Bahkan, ia pernah pula diminta untuk menjadi anggota DPA.
Bakat kepengarangan Abdul Muis sebenarnya baru terlihat setelah Ia bekerja di dunia penerbitan, terutama di harian Kaum Muda yang dipimpinnya. Dengan menggunakan inisial nama: A.M. ia menulis hanyak hal. salah satu di antananya adalah roman sejarahnya. Surapati. Konon. sebelum diterbitkan sebagai buku, roman tersebut dimuat sebagal feui/.leton ‘cerita bersambung’ pada Kaum Muda. Penangkapan itu membuatnya tidak bisa terjun lagi ke arena pergerakan nasional. Moeis banting setir menjadi petani di tempat pembuangannya. Setelah kemerdekaan, ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan.
Abdul Muis juga kondang sebagai seorang sastrawan. Salah Asuhan yang melegenda itu adalah salahsatu karya monumentalnya.Karya-karyanya yang lain adalah:
·         Tom Sawyer Anak Amerika (terjemahan dan karya Mark Twain, Amerika), Jakarta:Balai Pustaka, 1928
·         Sebatang Kara (terjemahan dan karya Hector Malot, Perancis), cetakan 2, Jakarta:Balai Pustaka, 1949
·         Hikayat Bachtiar (saduran cerita lama), Bandung:Kolff, 1950
·         Hendak Berbalai, Bandung:KoIff, 1951
·         Kita dan Demokrasi, Bandung:Kolff, 1951
·         Robert Anak Surapati, Jakarta:Balai Pustaka, 1953
·         Hikayat Mordechai: Pemimpin Yahudi, Bandung:Kolff. 1956
·         Kurnia, Bandung:Masa Baru, 1958
·         Pertemuan Djodoh (cetakan 4), Jakarta:Nusantana, 1961
·         Surapati. Jakarta:Balai Pustaka, 1965
·         Salah Asuhan, Jakarta:Balai Pustaka, 1967
·         Cut Nyak Dien: Riwayat Hithip Seorang Putri Aceh (Terjemahan dan karya Lulofs, M.H. Szekely), Jakarta:Chailan Sjamsoe, t.t.
·         Don Kisot (terjemahaiun dan karya Cervantes, Spanyol)
·         Pangeran Kornel (terjemahan dan karya Memed Sastrahadiprawira, Sunda)
·         Daman Brandal Sekolah Gudang, Jakarta:Noordhoff, t.t.
Selain itu, Muis berperan di balik berdirinya Technische Hooge School di Bandung yang merupakan cikal-bakal dari Institut Teknologi Bandung (ITB).
Ia pun kemudian wafat di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umurnya yang berusia 75 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra,Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang pertama oleh Presiden Republik Indonesia yang kepertama, Soekarno, pada 30 Agustus 1959,berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun 1959, tanggal 30 Agustus 1959.

Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan


Lahir: Sintang, Kalimantan Barat,1771
Wafat: Tanjung Suka Dua, Melawi, 1875
Makam: Natali Mangguk Liang, Melawi


Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan dilahirkan oleh ibunya yang bernama Siti  Safriyah di Sintang, Kalimantan Barat pada tahun 1771. Ayahnya bernama Oerip. Ayah Abdul Kadir bekerja sebagai hulubalang atau pemimpin pasukan kerajaan Sintang. Abdul Kadir sudah mengabdi sebagai pegawai kerajaan Sintang pada saat usianya masih sangat muda. Selama mengabdi di kerajaan Sintang, ia mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Ia pernah mendapat tugas dari Raja Sintang untuk mengamankan kerajaan Sintang dari gangguan pengacau dan perampok. Tugas tersebut dapat dilaksanakannya dengan baik. Abdul Kadir kemudian diangkat menjadi pembantu ayahnya yang menjabat sebagai Kepala Pemerintahan kawasan Melawi. Setelah ayahnya wafat, pada tahun 1845, ia diangkat sebagai kepala pemerintahan Melawi menggantikan kedudukan ayahnya. Karena jabatannya itu Abdul Kadir mendapatkan gelar Raden Tumenggung yang diberikan oleh Raja Sintang.
Dalam perjuangannya, ia berhasil mempersatukan suku-suku Dayak dengan Melayu serta dapat mengembangkan potensi ekonomi daerah Melawi. Namun demikian, ia juga berjuang keras menghadapi ambisi Belanda-datang di Sintang pada tahun 1820-yang ingin memperluas wilayah kekuasaannya ke daerah Melawi. Dalam menghadapi Belanda, ia memakai strategi peran ganda, yaitu sebagai pejabat pemerintah Melawi ia tetap bersikap setia pada Raja Sintang yang berarti setia pula pada pemerintahan Belanda. Tetapi secara diam-diam ia juga menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Ia membentuk kesatuan-kesatuan bersenjata di daerah Melawi dan sekitarnya untuk menghadapi pasukan Belanda.
Pada tahun 1866, Belanda memberikan hadiah uang dan gelar Setia Pahlawan kepada Abdul Kadir Raden Tumenggung agar sikapnya melunak dan mau bekerjasama dengan Belanda. Namun demikian Abdul Kadir tidak merubah sikap dan pendiriannya. Ia tetap melakukan persiapan untuk melawan pemerintahan Belanda. Pada akhirnya di daerah Melawi sering terjadi gangguan keamanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung.
Pada tahun 1868, Belanda yang marah akibat sering mendapat gangguan keamanan kemudian melancarkan operasi militer ke daerah Melawi. Pertempuranpun tidak bisa dihindari antara pasukan Belanda melawan pengikut Abdul Kadir Raden Tumenggung. Dalam menghadapi Belanda, Abdul Kadir tidak memimpin pertempuran secara langsung, melainkan ia hanya mengatur strategi perlawanan. Sebagai kepala pemerintahan Melawi, ia bisa memperoleh berbagai informasi tentang rencana-rencana operasi militer pemerintah Belanda. Berkat informasi itulah, para pemimpin perlawanan dapat mengacaukan operasi militer Belanda.
Selama tujuh tahun (1868-1875) Abdul Kadir Raden Tumenggung berhasil menerapkan strategi peran ganda, namun akhirnya pemerintah Belanda mengetahuinya. Pada tahun 1875 ia ditangkap dan dipenjarakan di benteng Suka Dua milik Belanda di Nanga Pinoh. Tiga minggu kemudian ia meninggal dunia dalam usia 104 tahun. Jenasahnya dimakamkan di Natali Mangguk Liang daerah Melawi.
Atas jasa-jasanya dalam perjuangan menghadapi penjajah Belanda, maka pada tahun 1999 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114/TK/Tahun 1999 tertanggal 13 Oktober 1999, pemerintah Indonesia menganugerahkan Abdul Kadir Raden Tumenggung Setia Pahlawan sebagai Pahlawan

Jendral Besar Kehormatan Abdul Haris Nasution


Lahir: Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918
Wafat: Jakarta, 6 September 2000
Makam:Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata,Jakarta


ABDUL HARRIS NASUTION,atau yang lebih akrab dipanggil Pak Nas,dilahirkan di Kotanopan,  Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918.Ia dibesarkan dalam keluarga tani yang taat beribadat. Ayahnya anggota pergerakan Sarekat Islam di kampung halaman mereka di Kotanopan, Tapanuli Selatan. Pak Nas senang membaca cerita sejarah. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini senang membaca buku-buku sejarah, dari Nabi Muhammad SAW sampai perang kemerdekaan Belanda dan Prancis.
Pendidikan pertamanya adalah pada saat masuk Hollandsche School (HIS,setingkat SD) diYogyakarta,dan selesai pada tahun 1932.Kemudian,ia masuk ke Algemenee Middlebare School (AMS) -B (SMA Paspal) .Selepas keluar dari AMS-B (SMA Paspal) pada tahun 1938, Pak Nas sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang.
Tetapi,kemudian ia tertarik masuk Akademi Militer.Kebetulan,pada tahun 1940,Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia.Kesempatan itu tak di sia-siakan. Ia kemudian mendaftar untuk sekolah Militer,dan diterima untuk sekolah Militer di Bandung.Kemudian,ia menjadi pembantu letnan di Surabaya.Tetapi,pendidikannya terhenti karena kedatangan Jepang,pada tahun 1942.Karena kedatangan Jepang,ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya.Sebagai taruna, ia menarik pelajaran berharga dari kekalahan Tentara Kerajaan Belanda yang cukup memalukan. Di situlah muncul keyakinannya bahwa tentara yang tidak mendapat dukungan rakyat pasti kalah.
Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pada Maret 1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua setelah Jendral Soedirman). Sebulan kemudian jabatan "Wapangsar" dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.
Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), ketika memimpin Divisi Siliwangi, Pak Nas menarik pelajaran kedua. Rakyat mendukung TNI. Dari sini lahir gagasannya tentang perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini dengan leluasa dikembangkannya setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (1948-1949).
Pak Nas muda jatuh cinta pada Johana Sunarti, putri kedua R.P. Gondokusumo, aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra). Sejak muda, Pak Nas gemar bermain tenis. Pasangan itu berkenalan dan jatuh cinta di lapangan tenis (Bandung) sebelum menjalin ikatan pernikahan. Pasangan ini dikaruniai dua putri,yaitu Ade Irma Suryani dan Hendriyanti Saharah(Ade Irma terbunuh padawaktu terjadinya G30S/PKI).
Di penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) yang boleh disebut juga sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat(Men/Pangad) .Pengagum Bung Karno di masa muda, setelah masuk di jajaran TNI, Pak Nas acapkali akur dan tidak akur dengan presiden pertama itu. Pak Nas menganggap Bung Karno campur tangan dan memihak ketika terjadi pergolakan di internal Angkatan Darat tahun 1952.Karena itulah,Ia berada di balik ”Peristiwa 17 Oktober”, yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan DPR baru. Akibat peristiwa ini Presiden Soekarno mencopotnya dari jabatan KASAD dan menggantinya dengan Bambang Sugeng. Setelah akur kembali akhirnya pada November 1955 ia menjabat kembali posisinya sebagai KASAD. Tidak hanya itu, pada Desember 1955 ia pun diangkat menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia.Dan juga,ia diangkat menjadi Menteri Kompartemen (Menko) Pertahanan Keamanan (Hankam).Pada tahun 1962,Jabatan Men/Pangad yang ia pegang digantikan oleh Letnan Jendral(Letjend) Ahmad Yani.Kemudianiamenjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KASAB).
Pak Nas dipercaya Bung Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Keduanya tidak akur lagi usai pembebasan Irian Barat lantaran sikap politik Bung Karno yang memberi angin kepada PKI.
Namun, dalam situasi seperti itu Pak Nas tetap berusaha jujur kepada sejarah dan hati nuraninya. Bung Karno tetap diakuinya sebagai pemimpin besar. Suatu hari tahun 1960, Pak Nas menjawab pertanyaan seorang wartawan Amerika, ”Bung Karno sudah dalam penjara untuk kemerdekaan Indonesia, sebelum saya faham perjuangan kemerdekaan”.
Pak Nas dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya dalam melawan kolonialisme Belanda. Tentang berbagai gagasan dan konsep perang gerilyanya, Pak Nas menulis sebuah buku fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare.Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing, jadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat (AS).
Pada tahun 1965,Partai Komunis Indonesia(PKI) menuntut dibentuknya Angkatan Kelima.Men/Pangad Letjen Ahmad Yani menolak tuntutan tersebut dengan tegas.Pak Nas,bersama kelima Jendral lainnya,mengikuti apa yang dilakukan Ahmad Yani.Karena itu,PKI mencantumkan Pak Nas kedalam daftar musuh PKI,yang pada tanggal 1 Oktober 1965 harus dilenyapkan dengan cara diculik.Peristiwa itulah yang dinamakan Gerakan 30 September (G30S/PKI).
Pada saat terjadinya Gerakan,Pasukan penculik dipimpin oleh Pelda Djahrub.Pasukan tiba di Rumah Pak Nas di Jalan Teuku Umar no.40,pada jam 03.30.Agar penculikan mudah,mereka mengamankan penjaga di Rumah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II,J.leimena yang berada di samping rumah Pak Nas.Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun,gugur dalam pengamanan.
Pasukan penculik kemudian masuk kerumah Pak Nas yang tak terkunci.Akan tetapi,Pak Nas bisa menyelamatkan diri dengan melompati tembok pagar samping kiri rumahnya.Tetapi,kakinya cedera karena terkena pot bunga.Itu terjadi karena ia kaget setelah tiga peluru ditembakkan ke dirinya,tetapi tidak kena.Ade Irma yang digendong Bu Mardiyah,saudara Pak Nas,tewas terkena terjangan peluru.
Mendengar suara ribut,Ajudannya,Lettu Pierre Tendean,keluar dari belakang dengan membawa senjata Garrant.Tetapi,ia keburu disergap.Ia pun ditanya,dimana Nasution berada.Ia menjawab bahwa dialah Nasution.Hal itu ia lakukan karena kesetiaannya terhadap pimpinannya.Karena keadaan gelap,mereka pun percaya bahwa yang mereka tangkap Nasution,dan membawanya ke Lubang Buaya untuk disiksa dan dibunuh.
Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi kunci TNI ini, tersisih dari panggung kekuasaan. Ia lalu menyibukkan diri menulis memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan Pak Nas telah beredar. Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Dua lagi memoarya, Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, sedang dalam persiapan. Masih ada beberapa bukunya yang terbit sebelumnya, seperti Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).
Pria Tapanuli ini lebih menjadi seorang jenderal idealis yang taat beribadat. Ia tak pernah tergiur terjun ke bisnis yang bisa memberinya kekayaan materi. Kalau ada jenderal yang mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya, Pak Nas orangnya. Tangan-tangan terselubung memutus aliran air PAM ke rumahnya, tak lama setelah Pak Nas pensiun dari militer. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, keluarga Pak Nas terpaksa membuat sumur di belakang rumah. Sumur itu masih ada sampai sekarang.
Memang tragis. Pak Nas pernah bertahun-tahun dikucilkan dan dianggap sebagai musuh politik pemerintah Orba. Padahal Pak Nas sendiri menjadi tonggak lahirnya Orba. Ia sendiri hampir jadi korban pasukan pemberontak yang dipimpin Pelda Djahrub. Pak Nas-lah yang memimpin sidang istimewa MPRS yang memberhentikan Bung Karno dari jabatan presiden, tahun 1967.
Pak Nas, di usia tuanya, dua kali meneteskan air mata. Pertama, ketika melepas jenazah tujuh Pahlawan Revolusi awal Oktober 1965. Kedua, ketika menerima pengurus pimpinan KNPI yang datang ke rumahnya berkenaan dengan penulisan buku, Bunga Rampai TNI, Antara Hujatan dan Harapan.
Apakah yang membuatnya meneteskan air mata? Sebagai penggagas Dwi Fungsi ABRI, Pak Nas ikut merasa bersalah, konsepnya dihujat karena peran ganda militer selama Orba yang sangat represif dan eksesif. Peran tentara menyimpang dari konsep dasar, lebih menjadi pembela penguasa ketimbang rakyat.
Pak Nas memang salah seorang penandatangan Petisi 50, musuh nomor wahid penguasa Orba. Namun sebagai penebus dosa, Presiden Soeharto, selain untuk dirinya sendiri, memberi gelar Jenderal Besar kepada Pak Nas pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI. Meski pernah “dimusuhi” penguasa Orba, Pak Nas tidak menyangkal peran Pak Harto memimpin pasukan Wehrkreise melancarkan Serangan Umum ke Yogyakarta, 1 Maret 1949.
Gaya hidup bersahaja dibawa Jenderal Besar A.H. Nasution sampai akhir hayatnya, 6 September 2000. Ia tak mewariskan kekayaan materi pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman perjuangan dan idealisme. Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, tak pernah direnovasi. Namun Tuhan memberkatinya umur panjang, 82 tahun.Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan(TMP) Kalibata,Jakarta.Oleh Presiden Megawati Soekarno Putri,beliau dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 6 November 2002,berdasarkan Keputusan Presiden No. 073/TK/2002.