Jumat, 06 Mei 2011

Cut Nyak Dien


(1848-1908,59 Tahun)
“Perempuan Aceh Berhati Baja”
C
UT NYAK DIEN atau yang juga dieja Tjoet Nja’ Dhien,lahir di Lampadang,Aceh,pada tahun 1848. Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang Uleebalang (Hulubalang) VI Mukim (Lampadang).Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri Uleebalang Lampagar.Pada usia 12 tahun, ia dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga,dan dikaruniai satu anak laki-laki.Setelah kematian suaminya,ia menikah kembali dengan Teuku Umar.Ia wafat pada tanggal 6 November 1908 di Sumedang,Jawa Barat,dan dimakamkan di Kampung Gunung Agung,Desa Sukajaya,Kecamatan Sumedang Selatan.Menjadi Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Perang Aceh

P
ada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler,dan dimenangkan oleh Kesultanan Aceh.Tetapi,pada akhirnya Aceh dapat dikuasai.Ketika daerah Mukim VI dikuasai pada tahun 1875,Dien terpaksa mengungsi,berpisah dengan ayah, ibu dan  suaminya.Ternyata perpisahan tersebut adalah untuk selamanya.Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Teuku Umar pun datang melamar Cut Nyak Dien.Setelah      dilakukan pertimbangan, akhirnya lamaran Teuku Umar pun diterima,dan menikah pada tahun 1880. Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
“Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadah kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?”
(Seruan Cut Nyak Dien dalam Perang Aceh)

Perang Gerilya di Meulaboh
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar berjuang dengan berpura-pura bergabung dengan Belanda. Ia banyak diejek oleh para pejuang,termasuk Cut Meutia,karena pengkhianat.Tetapi,Cut Nyak Dien menasihatinya. Hingga akhirnya Umar wafat,karena ia sudah diketahui penyamarannya.Cut Nyak Dien pun bersedih,karena kehilangan suaminya untuk kedua kalinya.Tetapi,semangat perjuangannya masih terus berkobar. Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
Catatan
Sebagai wujud pengabadian,dilakukan hal-hal berikut:
1. Sebuah kapal perang TNI-AL diberi nama KRI Cut Nyak Dhien;
2.Mata uang rupiah Rp10.000,00 keluaran tahun 1998 memuat gambar Cut Nyak Dhien;
3.Namanya diabadikan di berbagai kota Indonesia sebagai nama jalan;dan
4.Masjid Aceh kecil didirikan di dekat makamnya untuk mengenangnya.
Selain itu,juga dibuat sebuah film drama epos berjudul Tjoet Nja' Dhien pada tahun 1988 yang disutradarai oleh Eros Djarot.

Akhir Perjuangan
Anak buah Cut Nyak Dien yang bernama Pang Laot,secara diam-diam melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba.”Cut Nyak Dien boleh ditangkap asalkan diperlakukan sebagai orang terhormat,dan bukan sebagai penjahat perang".Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Cut Nyak Dien dibawa ke Banda Aceh,dan dirawat disana.Sakit rabun dan encok yang dideritanya berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.Ia pun dibawa ke Sumedang.Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".Ia kemudian meninggal pada 6 November 1908,dan dimakamkan di Sumedang.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar