Lahir: Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, 26 Juni 1887
Wafat: Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, 1962
Makam:-
ABDUL HALIM dilahirkan oleh ibunya yang bernama Hajjah Siti Mutmainah binti Imam Safari di Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka,pada tanggal 26 Juni 1887,bertepatan pada tanggal 4 Syawal 1304 Hijriyah.Ia terlahir dengan nama Otong Syatori.Ayahnya bernama Kyai Haji Muhammad Iskandar, penghulu Kawedanan Jatiwangi. Latar belakang keluarga beliau memang dikenal taat dalam beragama, bahkan ibunya masih keturunan dari Sultan Syarif Hidayatullah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pendidikan yang menyangkut pelajaran agama Islam, sudah didapatinya sejak usia dini. Pada usia 10 tahun ia sudah belajar membaca al Qur’an, kemudian menjadi santri pada beberapa orang kiai di berbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sampai mencapai usia 22 tahun. Kiai yang pertama kali ia didatangi ialah Kyai Haji Anwar di Pondok Pesantren Ranji Wetan, Majalengka , kemudian berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Ia menjalani setiap pesantren antara 1 sampai dengan 3 tahun. Tercatat beberapa kiai yang menjadi gurunya, antara lain:
1.Kyai Haji Abdullah di Pesantren Lontangjaya, desa Penjalin, Kecamatan Leuwimunding, Majalengka,Kyai Haji Sijak di Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon;
2.Kyai Haji Ahmad Sobari di Pesantren Ciwedas, Cilimus, Kuningan;dan
3.Kyai Haji Agus di Pesantren Kedungwangi, Pekalongan, Jawa Tengah.
Setelah menjalani pendidikan agama di ketiga pesantren tersebut,kemudian kembali lagi ke Pesantren Ciwedus. Di sela-sela kehidupan pesantren, Otong menyempatkan diri berdagang, seperti berjualan batik, minyak wangi, dan kitab-kitab pelajaran agama. Pengalaman dagangnya ini mempengaruhi langkah-langkahnya kelak dalam upaya membaharui sistem ekonomi masyarakat pribumi. Ia kemudian menikah dengan Siti Murbiyah, putri Kyai Haji Mohammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka (sebanding dengan kepala Kandepag Kapubaten sekarang).
Pada usia 22 tahun Otong berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama. Ia bermukim di sana selama 3 tahun. Pada kesempatan ini ia mengenal dan mepelajari tulisan-tulisan Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syeikh Muhammad Abduh. Untuk mendalami pengetahuan agama di sana, ia belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib, imam dan kahtib Masjidil haram, dan Syeikh Ahmad Khayyat, ketika di sana pula ia bertemu dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (tokoh Nahdatul Ulama). Pada tahun 1328 H/1911 M ia kembali ke Indonesia,dan mengubah namanya menjadi ABDUL HALIM.
Di samping menguasai bahasa Arab, ia juga mempelajari bahasa Belanda dari Van Houven (salah seorang dari Zending Kristen di Cideres) dan bahasa Cina dari orang Cina yang bermukim di Mekah. Dengan pengalaman pendidikan dan tukar pikirannya dengan para tokoh besar, baik di luar maupun dalam negri, Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam prinsip. Ia tidak mau bekerja sama dengan pihak kolonial. Ketika oleh mertuanya ditawari menjadi pegawai pemerintah, ia menolaknya.
Dengan berbekal semangat juang dan tekad yang kuat, sekembalinya dari Mekah, ia mulai melakukan perbaikan untuk mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil pengamatan dan konsultasinya dengan beberapa tokoh di Jawa. Usaha perbaikan ini ditempuhnya melalui jalur pendidikan (At-Tarbiyah) dan penataan ekonomi (Al-Iqtisadiyah).
Dalam merealisasi cita-citanya untuk pertama kalinya Abdul Halim mendirikan Majlisul Ilmi (Majelis Ilmu) pada tahun 1911 sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambu. Pada majlis ini ia meberikan pengetahuan agama kepada para santrinya. Dengan bantuan mertuanya, Kyai Haji Muhammad Ilyas, serta dukungan masyarakat Abdul Halim dapat terus mengembangkan idenya. Pada perkembangan berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri.
Setahun kemudian,pada tahun 1912,Kyai Haji Abdul Halim menyempurnakan Majlisul Ilmi menjadi organisasi yang lebih besar dengan nama Hayatul Qulub yang aktivitasnya disamping berupaya meningkatkan kualitas pendidikan juga mendorong kegiatan ekonomi rakyat terutama dalam menghadapi persaingan pengusaha asing yang menguasai pasar juga melawan penindasan Belanda terhadap rakyat yang memeras tenaga mereka. Hayatul Qulub memelopori berdirinya perusahaan percetakan, pembangunan, pabrik tenun serta pengembangan usaha-usaha pertanian . Suatu hal yang menarik adalah penerapan sistem pemilikan saham-saham perusahaanbagi guru-guru yang aktif mengajar. Langkah-langkah perbaikannya meliputi delapan bidang perbaikan yang disebut dengan Islah As-Samaniyah, yaitu islah Al-Aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah Al-Ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah At-Tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah Al-Ailah (perbaikan bidang keluarga), islah Al-Adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah Al-Mujtama (perbaikan masyarakat), islah Al-Iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah Al-Ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong).
Secara bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Melihat kemajuan dan hasil yang telah dicapainya, pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga. Secara diam-diam pemerintah kolonial mengutus polisi rahasia (yang disebut Politiek Inlichtingn Dienst/PID) untuk mengawasi pergerakan Abdul Halim dan setiap orang yang dicurigai. Pada tahun 1915 organisasi yang dipimpinnya ini dibubarkan sebab dinilai oleh pemerintah sebagai penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan Cina). Sejak itu Hayatul Qulub secara resmi dibubarkan dengan alasan menganggu keamanan.Akan tetapi KH.Abdul Halim tetap gigih dan tidak pernah menyerah kegiatan-kegiatan perjuangannya tetap berjalan.
Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Untuk ini ia menjalin hubungan dengan Jam’iyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan. Dengan dorongan dari sahabatnya, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan Persyarikatan Oelama(PO) sebagai pengganti Hayatul Qulub. Tahun 1924 Persyarikatan Oelama semakin berkembang dan hampir menjangkau ke seluruh wilayah Jawa dan Madura. Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. Pada tahun 1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia.
Untuk mendukung organisasi ini, terutama pada sektor keuangan/dana, Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha pada tahun 1927, kemudian mendirikan percetakan pada tahun 1930. Pada tahun 1939 ia mendirikan perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya, yang langsung di bawah pengawasannya. Untuk mendukung lajunya perusahaan di atas, kepada para guru diwajibkan menanam saham sesuai dengan kemampuan masing-masing. Abdul Halim juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan wanitanya, Fatimiyah.
Abdul Halim juga memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada anak didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini direalisasinya dengan mendirikan sekolah /pesantren kerja bersama bernama Santi Asromo pada bulan April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Di samping mengembangkan bidang pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti dakwahnya adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna mengusir penjajahan. Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham Ahlus sunnah waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942 ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi “Persatuan Umat Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung.
Selain aktivitasnya membina organisasi PUI, ia aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik menentang pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912 ia menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Majalengka. Pada tahun 1928 ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. M. Anwaruddin dari Rembang dan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia), ia menjadi salah seorang pengurusnya.
Pada tahun 1940, ia bersama Kyai Haji A. Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper, di Jakarta untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Salah satu kegiatan yang menonjol adalah program pertolongan kepada para pelajar dengan membentuk I’anatul Muta’allimin. Antara tahun 1917-1920 telah dibangun 40 Madrasah, sebagian besar di Jawa, dengan metode pengajaran modern, yang pada saat itu mendapat tentangan dari berbagai pihak. Pada Kongres ke IX P.O., KH.Abdul Halim melahirkan ide untuk membangun sebuah pondok Pesantren, dimana santri tidak saja belajar agama tetapi juga dilatih berbagai kerajinan dan keterampilan. Ide ini mendapat sambutan positif yang pada akhirnya berdiri pondok pesantren yang dikenal dengan sebutan Santi Asromo.
Ia kemudian menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokuritsu Junbi Cosakai).
Pada tanggal 17 Agustus 1945,Indonesiapun merdeka.Ketika terjadi Agresi Militer Belanda yang pertama atau Aksi Polisionil pada 21 Juli sampai 5 Agustus 1947, ia bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga menentang keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh Belanda. Dalam mempertahankan kemerdekaan Abdul Halim berbasis di Gunung Ciremai untuk menghadapi Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak dengan berperang gerilya. Ia memimpin dalam penghadangan militer Belanda di wilayah Keresidenan Cirebon.
Pada tahun 1952, Perikatan Ummat Islam berfusi dengan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) pimpinan K.H. Ahmad Sanusi yang berbasis di Sukabumi, kemudian menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI) dengan kedudukan di Bandung.Ia kemudian menjadi anggota Komite Nasional indonesia Pusat (KNIP).Pada tahun 1955,ia kemudian menjadi anggota Konstituante.Di kalangan kawan-kawannya ia dikenal sebagai orang yang sederhana, pengasih, dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan daripada melalui kekerasan.
Mengenai pemikiran dan karyanya; Abdul Halim adalah ulama yang dapat dikatakan sebagai seorang penulis yang produktif. Banyak tulisan-tulisannya yang sempat diterbitkan. Tulisan-tulisan tersebut dipublikasikan di kalangan anggota Persyarikatan Ulama dalam bentuk brosur dan buku kecil. Tetapi, sebagian besar tulisannya sudah terbakar sewaktu Agresi Militer Belanda ke dua. Di antara karyanya adalah;
1. Risalah Petunjuk bagi Sekalian Manusia;
2. Ekonomi dan Koperasi dalam Islam;
3. Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan);
4. Da’watul Amal;
5. Tarikh Islam;
6. Neraca Hidup;
7. Risalah;
8. Ijtimaiyah Wailajuha;
9. Kitab Tafsir Tabarok;
10. Kitab 262 Hadits Indonesia;
11. Babul Rizqi, dll.
Dari nama-nama kitab karangan Abdul Halim ini, yang masih tersisa tinggal 3 yaitu:
1.Kitab Petunjuk bagi Sekalian Manusia;
2.Ekonomi dan Koperasi dalam Islam;dan
3.Ketetapan Pengajaran di Sekolah Ibtidaiyah Persyarikatan Ulama (sebagai Ketua Tim Penyusunan).
Selain itu, tulisan-tulisan Abdul Halim juga dimuat dalam beberapa majalah, seperti Suara Persyarikatan Ulama, As-Syuro, al-Kasyaaf dan Pengetahuan Islam. Abdul Halim juga menulis di Suara Muslimin Indonesia, Suara MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan di situ, ia menjadi pengisi artikel Ruangan Hadits. Ia juga menulis dalam lembaran-lembaran lain yang beredar dalam bentuk tercetak atau stensil, terutama untuk kalangan organisasi Persyarikatan Ulama.
Di dalam tulisan-tulisan tersebut, dapat dilihat pemikiran Abdul Halim tentang gagasan dan cita-citanya. Meski pun uraiannya dihubungkan dengan masalah keagamaan, tetapi pokok-pokok pikirannya dapat dipahami dari interpretasi yang dikemukakannya.
Pada garis besarnya, pokok-pokok pikiran Abdul Halim bersumber dari penafsirannya tentang konsepp al-Salam. Karena menurut pemahamannya, agama Islam memuat ajaran-ajaran yang bertujuan untuk membimbing manusia agar mereka dapat hidup selamat di dunia, dan memperoleh kesejahteraan hidup di akhirat. Kedua macam keselamatan hidup ini disebut al-Salam.
Berdasarkan pengertian ini, Abdul Halim melihat, bahwa kesejahteraan hidup di akhirat erat kaitanhnya dengan keselamatan hidup di dunia, karena untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera di akhirat, terlebih dahulu manusia mesti hidup selamat di dunia, yaitu hidup yang sejalan dengan tuntutan agama (Abdul Halim: 1938). Makanya, menurut Abdul Halim antara ke dua macam kehidupan tersebut, terhadap hubungan kausalitas (timbal-balik).
Selanjutnya, pemikiran-pemikiran ini, membawa Abdul Halim kepada 3 kesimpulan, yang kemudian diterapkan dalam kehidupannya. Baik mengenai konsep keagamaan, pendidikan, dan kesejahteraan.
1. Konsep al-Salam;
2. Konsep Santi Asromo;dan
3. Konsep Santri Lucu.
Pada saat menginjak usia 74 tahun, di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, pada tahun 1962,bertepatan pada tahun 1381 Hijriyah,beliau meninggal dunia.Atas jasa-jasanya, Gelar pahlawan nasional diberikan kepada Abdul Halim bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta berdasarkan SK Presiden nomor 041 /TK/2008 (6 November 2008).Dan juga,almarhum kemudian memperoleh tanda kehormatan BINTANG MAHAPUTERA UTAMA dari Presiden Republik Indoensia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar