Jl. Raya Pondok Gede, Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung,
Jakarta Timur. Telp: 021-8400423, Fax 021-8411381
Buka setiap hari pukul 09.00-16.00 WIB, kecuali hari Senin. Setiap tanggal 5 Oktober dan 10 November, pengunjung tidak dikenakan biaya masuk.
Pada saat saya masih kelas tiga,saya bersama kakak saya berangkat ke Jl. Raya Pondok Gede, Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, beberapa ratus meter dari Asrama Haji Pondok Gede.Pertama-tama,saya sampai di Museum Pengkhianatan PKI.Pintu gerbang yang tinggi yang bergambar relief kebiadaban menyambut pengunjung ketika memasuki area Lubang Buaya, dengan jalan masuk yang lebar serta pepohonan rindang di kiri kanan jalan sebelum akhirnya sampai di area parkir yang luas. Pengunjung membayar karcis masuk sebesar Rp.1.500 per orang, baik dewasa maupun anak-anak, dengan karcis parkir bus Rp. 3.000, mobil sedan Rp. 2.000 dan sepeda motor Rp. 1.000.Saya sampai ditempat parkir,lalu keluar mobil.Masuklah saya bersama kakak saya kedalam museum.Museum Pengkhianatan PKI ini dikelola oleh Pusat Sejarah TNI, Departemen Pendidikan, serta Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, memiliki ratusan benda bersejarah terkait dengan peristiwa pemberontakan G30S-PKI.
Sebuah diorama di Museum Pengkhianatan PKI yang menggambarkan aksi teror Gerombolan Ce’ Mamat. Ce’ Mamat adalah gembong komunis 1926 yang menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Serang. Ia menuduh pemerintah RI di Banten sebagai kelanjutan pemerintah kolonial Belanda, dan menghasut rakyat agar tidak mempercayai pejabat pemerintah.
Pada 17 Oktober 1945 Ce’ Mamat membentuk Dewan Pemerintahan Rakyat Serang, merebut pemerintahan Karesidenan Banten, dan menyusun pemerintahan model Soviet. Ce’ Mamat dan pengikutnya, diantaranya Laskar Gulkut, melakukan aksi teror, merampok rakyat, menculik dan membunuh pejabat pemerintahan. Ketika Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta berkunjung ke Banten, dengan alasan dipanggil Presiden, Ce’ Mamat dan anak buahnya menjemput R. Hardiwinangun, Bupati Lebak, dari rumahnya di Rangkasbitung dan membawanya ke desa Panggarangan. Keesokan paginya, 9 Desember 1945, mereka membunuh R. Hardiwinangun dengan menembaknya di atas jembatan sungai Cimancak dan melempar mayatnya ke sungai.
Diorama di Museum Pengkhianatan PKI yang memperlihatkan tindak kekerasan Pasukan Ubel-Ubel di Sepatan, Tangeran, pada 12 Desember 1945. Dimulai pada 18 Oktober 1945, Badan Direktorium Dewan Pusat di bawah pimpinan Ahmad Khairun dengan dukungan gembong komunis bawah tanah berhasil mengambil alih kekuasaan pemerintah RI di Tangerang dari Bupati Agus Padmanegara.
Mereka membubarkan aparatur pemerintah dari tingkat desa sampai kabupaten, menolak mengakui pemerintah pusat RI di Jakarta, dan membentuk Laskar Hitam atau Laskar Ubel-Ubel karena berpakaian serba hitam dan memakai ubel-ubel (ikat kepala). Laskar Ubel-Ubel ini melakukan aksi teror dengan membunuh dan merampok harta penduduk Tangerang dan sekitarnya, seperti di Mauk, Kronjo, Kresek dan Sepatan.
Pada 12 Desember 1945, di bawah pimpinan Usman, Laskar Ubel-Ubel merampok penduduk Desa Sepatan, melakukan pembunuhan di berbagai tempat, dan membunuh tokoh nasional Oto Iskandar Dinata di Mauk.
Diorama yang melukiskan peristiwa revolusi sosial di Langkat pada 9 Maret 1946. Peristiwa ini konon bermula karena berdirinya Republik Indonesia belum diterima sepenuhnya oleh kerajaan-kerajaan di Sumatera Timur. Ketidakpuasan sebagian rakyat yang menuntut penghapusan kerajaan dimanfaatkan PKI dan Pesindo untuk mengambil alih kekuasaan dengan cara kekerasan.
Revolusi sosial itu dimulai pada 3 Maret 1946, yang selain bertujuan menghapus kerajaan juga untuk merampok harta benda dan membunuh raja-raja beserta keluarganya. Tindakan teror dan pembunuhan terjadi di Rantau Prapat, Sunggal, Tanjung Balai dan Pematang Siantar pada hari itu.
Pada 5 Maret 1946 Kerajaan Langkat secara resmi dibubarkan dan ditempatkan dibawah pemerintahan RI di Sumatera Timur, namun tetap saja pada malam tanggal 9 Maret 1946 massa PKI di bawah pimpinan Usman Parinduri dan Marwan menyerang Istana Sultan Langkat Darul Aman di Tanjung Pura. Istana diduduki massa PKI, beberapa keluarga Sultan dibunuh, dan Sultan beserta keluarganya dibawa ke Batang Sarangan.
Diorama tentang pengacauan Surakarta yang terjadi pada 19 Agustus 1948, sebagai salah satu upaya pengalihan perhatian pemerintah RI terhadap persiapan kegiatan pemberontakan PKI di Madiun. PKI membakar ruang pameran Jawatan Pertambangan ketika berlangsung pasar malam Sriwedari dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan RI. Rembetan api dapat dicegah, namun timbul kepanikan diantara para pengunjung sehingga 22 orang menderita luka-luka.
Diorama pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948. Gagal menjatuhkan kabinet Hatta dengan cara parlementer, organisasi komunis membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan melakukan aksi-aksi politik serta tindak kekerasan.
Musso, yang baru kembali dari Moskow dan mengambil alih pimpinan PKI, menuduh Soekarno-Hatta menyelewengkan perjuangan bangsa Indonesia dan menawarkan “Jalan baru Untuk Republik Indonesia”. Pada saat perhatian pemerintah dan Angkatan Perang terpusat untuk menghadapi Belanda, PKI melakukan kampanye-kampanye menyerang politik pemerintah, melakukan aksi-aksi teror, mengadu domba kekuatan bersenjata, dan melakukan sabotase ekonomi.
Dini hari 18 September 1948, ditandai 3 letusan pistol, PKI memulai pemberontakan di Madiun. Pasukan Seragam Hitam menyerbu dan menguasai tempat-tempat penting di dalam kota, termasuk gedung Karesidenan Madiun. Di gedung ini PKI mengumumkan berdirinya “Soviet Republik Indonesia” dan membentuk Pemerintahan Front Nasional. Sejumlah petinggi militer, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat pun dibunuh.
Diorama di Museum Pengkhianatan PKI yang menggambarkan saat Mussi tertembak mati pada 31 Oktober 1948. Pada 1 Oktober 1948 TNI menguasai Dungus yang dijadikan PKI sebagai basis setelah kekalahan mereka di Madiun. Pemimpin dan pasukan PKI lari ke arah selatan dan berusaha menguasai Ponorogo, namun gagal. Musso dan Amir Sjarifuddin lari menuju gunung Gambes dengan dikawal oleh dua batalyon yang cukup kuat. Mereka berpisah di tengah perjalanan.
Musso, yang dengan dua orang pengawalnya menyamar sebagai penduduk desa, tiba di Balong pada pagi tanggal 31 Oktober 1948, dimana ia menembak mati seorang anggota Polisi yang memeriksanya. Dengan naik dokar rampasan dan diiringi pengawal bersepeda, hari itu juga ia tiba di desa Semanding, Kecamatan Somoroto. Ia menembak seorang perwira TNI yang mencegatnya, namun tidak mengenai sasaran. Karena tidak bisa menjalankan kendaraan TNI yang dirampasnya, Musso lari masuk desa dan bersembunyi di sebuah blandong (tempat mandi) milik seorang penduduk. Pasukan TNI yang mengepungnya memerintahkan supaya ia menyerah, namun Musso melawan dan mati tertembak dalam peristiwa.
Beberapa pengunjung tengah mengamati Diorama penangkapan Amir Sjarifuddin yang terjadi pada 29 November 1948. Setelah berpisah dari Musso dan melalui perjalanan panjang dan sulit, Amir Sjarifuddin tiba di daerah Purwodadi dan bersembunyi di gua Macan di Gunung Pegat, Kecamatan Klambu. Semula polisi keamanan yang menjaga garis demarkasi Demak-Dempet-Gendong, tidak jauh dari tempat persembunyiannya, adalah orang-orang komunis, sehingga ia merasa aman.
Setelah TNI melucuti Polisi Keamanan itu dan melancarkan operasi-operasi pembersihan di sekitar daerah Klambu, posisi Amir Sjarifuddin pun terjepit. Pada 22 Nopember 1948 pasukan pengawalnya menyerah, dan Senin sore 29 Nopember 1948 tempat persembunyiannya dikepung TNI. Amir Sjarifuddin dan beberapa tokoh PKI lainnya pun menyerah dan diserahkan kepada komandan Brigade-12 di Kudus.
Diorama di Museum Pengkhianatan PKI yang melukiskan serangan PKI ke asrama polisi di Tanjung Priok pada 6 Agustus 1951.
Sesudah Pengakuan Kedaulatan RI, sisa-sisa PKI membentuk gerombolan bersenjata Sunari di Jawa Timur, Merapi-Merbabu Compleks di Jawa Tengah, dan gerombolan Eteh di Jakarta. Pada 6 Agustus 1951 pukul 19.00 WIB, gerombolan bersenjata Eteh berkekuatan puluhan orang dengan memakai ikat kepala bersimbol burung merpati dan palu arit menyerang asrama Mobile Brigade Polisi di Tanjung Priok untuk merebut senjata. Dua anggota polisi mengalami luka-luka parah dan seorang wanita penghuni asrama juga menderita luka-luka. Gerombolan Eteh berhasil merampas 1 bren, 7 karaben mauser dan 2 pistol.
Diorama penangkapan D.N. Aidit yang terjadi pada 22 November 1965 di Museum Pengkhianatan PKI.
Pada 1 Oktober 1965 tengah malam, Ketua CC PKI D.N.Aidit melarikan diri ke Jawa Tengah yang merupakan basis utama PKI. Tanggal 2 Oktober 1965 ia berada di Yogyakarta, dan berpindah-pindah tempat ke Semarang dan Solo untuk menghindari operasi pengejaran oleh RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat, sekarang Kopassus). Ia bersembunyi di sebuah rumah di kampung Sambeng Gede yang merupakan basis Serikat Buruh Kereta Api (SBKA), organisasi massa di bawah pengaruh PKI.
Tempat persembunyian D.N. Aidit ini akhirnya diketahui oleh ABRI melalui operasi intelijen. Pada 22 Nopember 1965 pukul 01.30 pagi rumah persembunyian D.N. Aidit digrebek oleh anggota Komando Pelaksanaan Kuasa Perang (Pekuper) Surakarta. Penangkapan hampir gagal ketika pemilik menyatakan D.N. Aidit telah meninggalkan rumahnya. Kecurigaan timbul setelah anggota Pekuper menemukan sandal yang masih baru, koper dan radio. Setelah penggeledahan dilanjutkan, dua orang Pekuper menemukan D.N. Aidit yang bersembunyi di balik lemari, dan ia pun dibawa ke Markas Pekuper di Loji Gandrung, Surakarta.
Diorama yang menunjukkan proses lahirnya Sura Perintah 11 Maret 1966.
Pada 11 Maret 1966 Kabinet Dwikora bersidang di Istana Negara, ditengah memuncaknya demonstrasi mahasiswa yang menuntut pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari oknum-oknum G.30.S/PKI dan penurunan harga. Presiden Soekarno yang mendapat laporan bahwa istana dikepung oleh pasukan tidak dikenal, segera meninggalkan sidang dan berangkat ke Istana Bogor.
Tiga orang perwira tinggi TNI Angkatan Darat, yaitu Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Yusuf dan Brigjen Amir Machmud menyusul ke Bogor setelah melapor kepada Men/Pangad Letjen Soeharto. Mereka meyakinkan Presiden bahwa tidak benar ada pasukan tanpa identitas mengepung Istana dan menyampaikan pesan Letjen Soeharto yang sanggup mengatasi keadaan apabila Presiden memberinya kepercayaan untuk tugas itu. Dari laporan itu lahir ide untuk memberikan Surat Perintah kepada Letjen Soeharto.
Presiden Soekarno memerintahkan ketiga perwira tinggi itu menyusun konsep surat perintah. Konsep itu kemudian dibaca oleh tiga orang Wakil Perdana Menteri yang juga berada di Istana Bogor. Surat perintah yang kemudian dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau “Supersemar” berisi pemberian wewenang kepada Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi. Malam itu juga SP 11 Maret disampaikan kepada Letjen Soeharto di Jakarta.
Diorama yang menunjukkan saat masyarakat Jakarta menyambut keputusan pembubaran PKI pada 12 Maret 1966.
Pada malam tanggal 11 Maret 1966 Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) Soeharto menerima Surat Perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno, yang berisi wewenang untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna menjamin keamanan dan ketertiban.
Pada tanggal 12 Maret 1966 Letjen Soeharto atas nama Presiden Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pimpinan Besar Revolusi mengeluarkan keputusan tentang Pembubaran PKI dan organisasi-organisasi massanya yang seazas, bernaung dan berlindung di bawah PKI, dan PKI dinyatakan sebagai organisasi yang
terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Republik Indonesia.
Keputusan itu diumumkan melalui RRI pada pukul 06.00 tanggal 12 Maret 1965. Massa rakyat Jakarta mengadakan pawai kemenangan di jalan-jalan dan membawa poster-poster sebagai ungkapan rasa gembira dan terima kasih.
Gedung Museum Pengkhianatan PKI.
Memorabilia Kapten Pierre Andreas Tendean yang disimpan di sebuah ruangan yang bersebelahan dengan gedung Museum Pengkhianatan PKI. Kapten Pierre Andreas Tendean menjadi salah satu korban pembunuhan G30S-PKI di Lubang Buaya dan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi.
Beberapa pengunjung remaja tampak tengah mengamati pakaian Kol. Katamso dan Mayjen Suprapto saat dibunuh di Lubang Buaya, serta foto kenangan dan perlengkapan yang dimiliki almarhum.
Sebuah Panser bertipe PCMK-2 Saraceen buatan Inggris yang terletak tidak jauh dari Gedung Museum Pengkhianatan PKI. Panser ini dipakai untuk mengangkut jenazah para korban G30S-PKI dari Lubang Buaya ke RSPAD Gatot Subroto Jakarta guna pemeriksaan visum et repertum. Panser itu juga pernah dipakai untuk mendukung operasi militer di Timor Timur pada 1976, sebelum akhirnya ditarik pada Juli 1985 dan dijadikan monumen.
Setelah berkeliling melihat semua diorama di museum keluarlah saya dari museum tersebut.Karena udaranya yang panas,jadi saya membeli minum,sambil bertanya dimanakah letak monumennya.Ibu penjual minum pun menunjukkannya.Pergilah saya ke tempat yang ditunjuk.
Yang pertama kali saya temukan adalah sumur maut ini:
SUMUR MAUT
"TJITA2 PERDJUANGAN KAMI UNTUK MENEGAKKAN KEMURNIAN PANTJASILA TIDAK MUNGKIN DIPATAHKAN HANJA DENGAN MENGUBUR KAMI DALAM SUMUR INI"Lubang Buaya,1 Oktober 1965.
Tulisan tersebut tertulis diatas sumur itu.Di sumur ini,ketujuh jenderal yang diculik dan dibunuh disembunyikan dengan cara menutupnya dengan daun-daun kering,sampah,dan setelah rata dengan tanah,ditanami pohon pisang.Sumur itu diberi pinggiran untuk diduduki dan disekitarnya dibangun bangunan seperti padepokan untuk melindungi sumur itu dari air hujan.
Disamping sumur,ada rumah penyiksaan ketiga perwira tinggi dan 1 perwira pertama.Terdapat suara-suara yang berisi perkataan-perkataan kasar,paksaan,dan ancaman yang dilontarkan kepada keempat perwira tersebut.Keempat perwira itu adalah:
1.Mayjen Suprapto
2.Mayjen S.Parman
3.Brigjen Sutoyo Siswomiharjo
4.Lettu Pierre Tendean.
Suprapto,Sutoyo,dan Tendean masing-masing diikat tangannya dan didudukkan di kursi panjang.S.Parman,tidak diikat,didudukkan di kursi dengan meja karena dia disuruh menandatangani surat pernyataan Dewan Jenderal.Dia tak mau menandatanganinya.Akhirnya,ia pun disiksa.
Lalu,kami mengarah ke monumen.Ada patung tujuh jenderal dan dibelakangnya tergantung pancasila yang besar.Dibawahnya ada relief pembunuhan mereka.
Tak terasa,hari sudah sore.Kami pun pulang ke rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar